http://www.antarajatim.com, Senin, 21 Jan 2008 11:30:08

oleh M. Irfan Ilmie

Kediri, 21/1 (ANTARA)

besek

Setiap berkunjung atau sekadar mampir ke Kediri, orang tidak akan pernah lupa untuk membawa tahu sebagai buah tangan untuk sanak keluarga yang ditinggalkan di rumah. Di kota yang berjarak 123 kilometer arah barat daya ibukota Provinsi Jawa Timur, Surabaya itulah, penganan berbentuk persegi empat yang terbuat dari kedelai tersebut menjadi salah satu ikonnya. Tak heran jika selama ini banyak orang lebih mengenal Kediri sebagai “Kota Tahu” ketimbang sosok Raja Jayabaya yang berkuasa di Kediri jauh sebelum Kerajaan Majapahit muncul di permukaan bumi nusantara ini.

Adalah seorang Tionghoa bernama Lauw Soen Hok yang mulai memperkenalkan “tahuwa” kepada warga Kediri pada tahun 1912. Tahuwa kreasi Lauw Soen Hok itu berbeda dengan tahu yang sebelumnya sudah ada di beberapa daerah lain di Indonesia. Selain lebih kenyal, warna tahuwa kuning setelah direbus bersama ekstrak kunyit. Karena kesulitan mengucapkan kata “tahuwa”, masyarakat Kediri akhirnya menyebut makanan itu menjadi “Tahu Takwa”, tahu khas Kediri yang jarang ditemukan di daerah lain. Beberapa tahun setelah 1912, banyak perusahaan rumahan yang kemudian membuat Tahu Takwa. Bahkan rumah-rumah warga keturunan Tionghoa yang berada di sekitar kawasan Pasar Setono Betek disulap menjadi toko yang memperdagangkan makanan khas Kediri dengan bahan baku utama kedelai itu.

Gulung Tikar Itulah sekadar catatan kilas balik. Perlahan tapi pasti, kelangsungan usaha pembuatan Tahu Takwa itu kini terancam, menyusul semakin melonjaknya harga kedelai. Etalase di beberapa sentra penjualan Tahu Takwa, seperti di Jalan Yos Sudarso, Jalan Trunojoyo, dan Jalan Pattimura sudah tidak lagi dipenuhi oleh makanan rakyat itu. Herman Budiono (40), pengelola perusahaan Tahu Takwa “Bah Kacung” menuturkan produksinya turun sampai 50 persen.

“Kami sudah tidak bisa memproduksi tahu setiap hari,” kata perajin tahu yang mewarisi keahlian nenek moyangnya itu. Ia menyebutkan, biasanya setiap hari bisa menghabiskan satu kuintal kedelai. Sekarang dia hanya bisa memproduksi tahu dari kedelai sebanyak itu setiap dua hari sekali. “Makanya sekarang sudah tidak seperti dulu lagi,” katanya sambil menunjukkan etalasenya yang kosong dan beberapa peralatan produksinya yang menganggur. Ketika harga kedelai masih berada di kisaran angka Rp4.000 hingga 4.500 per kilogram, dia menjual Tahu Takwa seharga Rp1.500 per biji. Sekarang ketika harga kedelai menembus Rp8.500 per kilogram, Tahu Takwa itu dijualnya menjadi Rp1.700 per biji. “Kami tidak berani menaikkan harga sampai Rp2.000 per biji karena takut pembeli akan lari,” kata Herman saat ditemui di rumah sekaligus tempat usaha dan penjualan Tahu Takwa di Jalan Trunojoyo 166 Kediri itu. Ia merasa beruntung karena masih bisa tetap berproduksi kendati tidak bisa “ajeg” seperti hari-hari sebelumnya karena di beberapa tempat lain aktivitas pembuatan tahu sudah berhenti total.