Kompas Jatim, 13 Januari 2010

Ekonomi Kerakyatan

PERGULATAN INDUSTRI TAHU KEDIRI

Oleh Runik Sri Astuti

Waktu istirahat siang telah lewat. Namun, Jufri (42), yang ditemui di pengujung tahun 2009, masih sibuk menggeluti pekerjaannya di salah satu perusahaan tahu terkemuka di Kota Kediri. Tangan kanannya dengan cekatan memegang pisau, sementara tangan kirinya menggenggam papan penyangga tahu yang sudah jadi. Dengan cekatan laki-laki yang bekerja di perusahaan tahu sejak 1982, memotong tahu menjadi kotak-kotak ukuran kecil.

Setelah itu ia harus merebus tahu dengan air yang dibubuhi kunyit yang telah ditumbuk. Tujuannya menghasilkan warna kuning pada tahu. Begitu matang, barulah tahu ditiriskan dan selanjutnya siap dijajakan kepada pembeli.

Setiap pagi sedikitnya ratusan pekerja memproduksi tahu di unit-unit usaha di Kediri. Pekerja mengejar upah Rp30.000 per hari sebagai penyambung hidup keluarga.

Di Kota Kediri terdapat lebih dari 10 perusahaan tahu berskala menengah yang berkembang pesat. Dan lebih dari 20 industri tahu tanpa merek tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Maka tidaklah berlebihan jika Kota Kediri menyandang predikat Kota Tahu.

Tengok saja Jalan Yos Sudarso dan Jalan Pattimura. Sepanjang tepiannya dipenuhi kios tahu dengan merek ternama seperti LYM, POO, Pong, Surya, LTT, Mickey Mouse, LTH, Panglima, dan Hayam Wuruk.

Lahirnya industri tahu di Kota Kediri tidak lepas dari peran sentral Lauw Soen Hok atau yang lebih dikenal dengan nama Bahkacung. Dialah perintis usaha pembuatan tahu pong, sebutan untuk tahu putih, dan tahu takwa, sebutan untuk tahu kuning, yang tersohor hingga di luar Jatim.

Rumah tinggalnya di Jalan Trunojoyo menjadi saksi sejarah perjalanan industri tahu sejak 1912. Rumah yang menjadi tempat produksi sekaligus ruang pamer tahu Bahkacung itu tetap berdiri kokoh, dengan fondasi semangat juang yang terus dilestarikan hingga memasuki generasi ketiga.

Bermunculan

Herman Budiono (41), pemilik tahu Bahkacung, mengatakan industri tahu di Kota Kediri mengalami pasang-surut. Sebelum tahun 2000, pertumbuhan industri tahu sangat luar biasa dengan bermunculannya berbagai merek tahu.

Pasca tahun 2000, roda industri tahu tidak lagi menggelinding. Industri tahu seolah stagnan di tempatnya. Krisis ekonomi global yang melanda sejak 1997 tampaknya memberikan pukulan yang cukup telak bagi pengusaha.

Belum lagi mereka bangkit dengan sempurna, pada tahun 2007 pengusaha tahu kembali diterjang badai. Kali ini mereka dihantam isu makanan berformalin. Akibat hantaman isu tersebut, tidak sedikit perusahaan tahu yang terganggu kestabilannya.

Setahun berlalu, pelaku industri tahu kembali mendapat batu sandungan. Kali ini giliran harga kedelai yang melonjak tajam tidak menentu. Bahkan, hingga pengujung tahun 2009, ketidakstabilan harga kedelai masih menyisakan masalah bagi pengusaha.

“Sekarang harga kedelai kembali naik, dari sebelumnya Rp5.200 per kilogram untuk kedelai lokal menjadi Rp5.800 sampai Rp5.900. Kami terpaksa menekan margin karena sangat sulit menaikkan harga jual,” ujar Herman.

Menyambut tahun baru 2010, Herman berharap industri tahu akan lebih baik. Dia optimistis bisa membuka cabang baru perusahaan tahu di Kediri, bahkan di Surabaya.

Sosok

HERMAN BUDIONO DAN GENERASI KETIGA

Meneruskan usaha warisan keluarga secara turun-temurun bukanlah perkara mudah. Apalagi jika harus menyandang nama besar. Pertaruhannya tinggi. Sedikit saja kurang cermat dalam melangkah, semua perjuangan selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.

Selain kecermatan, kelihaian membaca peluang pasar juga menjadi kunci sukses menghadapi persaingan usaha. Apalagi menghadapi pemain baru dan impitan kekuatan ekonomi dengan kapital besar.

Herman Budiono (41) merupakan generasi ketiga perusahaan tahu di Kota Kediri dengan merek Bahkacung. Meski baru terjun secara total pada tahun 2008, setelah sang ayah meninggal, dia tidak canggung. Alasannya, dia telah mempelajari seluk-beluk bisnis tahu mulai dari pemilahan bahan baku, proses produksi tahu, hingga menangani karyawan dan pemasaran produk. “Usaha keluarga yang dijaga dari generasi ke generasi menjadi laboratorium tempat saya menempa diri,” katanya.

“Saya ingin usaha tahu Bahkacung tetap eksis, bahkan bisa berkembang lebih besar lagi. Saya sudah punya rencana untuk itu,” kata pria yang belum sempat menamatkan kuliahnya ini.

Salah satu kelebihan tahu Bahkacung yang tidak dimiliki oleh perusahaan tahu di Kota Kediri, menurut Herman, adalah kesetiaannya dalam menjaga kualitas rasa dengan mempertahankan penggunaan bahan alami, termasuk penggunaan produk lokal terutama kedelai. Tidak hanya itu, proses produksi pun bertahan dengan alat tradisional dan tidak pernah tergoda untuk beralih pada teknologi modern yang bertumpu pada mesin.

Sangatlah wajar jika harga tahu Bahkacung sedikit lebih mahal dibandingkan dengan tahu yang diproduksi perusahaan lain. Bahkan, sampai sekarang belum ada satu pun perusahaan tahu di Kota Kediri yang bisa menyaingi dari segi kualitas.

Setiap potong tahu Bahkacung dijual Rp2.500, sedangkan merek lain seharga Rp1.600 per potong. Harga itu wajar karena setiap 20 kg kedelai yang dimasak Herman hanya jadi 200 potong tahu. Sedangkan di tempat lain bisa mencapai 300—400 potong tahu. Tentu rasanya beda. Namun, pilihan tetap ada di tangan konsumen. Yang jelas lidah tak bisa ditipu. (NIK)